tafsir ayat-ayat cinta-NYA : Surah al-Ahzab ayat 1-5 {Bahagian 1}


( 1 ) Wahai Nabi! Taqwalah engkau kepada Allah dan janganlah engkau ikuti
orang orang yang kafir dan orang-orang munafiq . Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.


Dalam ayat 1 sampai 3 terdapatlah peringatan kepada Nabi.
Dalam ayat 4 sampai 5 terdapat peringatan kepada ummat.

Nampak pada lahir seakan-akan tidak ada hubungan. Tetapi apabila kita fahami lebih mendalam, nampaklah benang sutera halus yang menghubung­kan ayat 3 yang semula dengan ayat 4 dan 5. Mari kita Cubalah perhatikan !


"Wahai Nabi! Taqwalah engkau kepada Allah." (Pangkal ayat 1).

Nabi akan selalu mengajak orang lain supaya bertaqwa. Namun ajakan beliau kepada orang lain itu tidak akan ada artinya, cuma akan jadi cemoohan orang kalau beliau hanya menyuruh padahal dia sendiri tidak bertaqwa. Sebab itu maka Allah menasehatkan kepadanya supaya taqwa itu ditanamnya teguh terlebih dahulu dalam dirinya, sehingga orang lain yang diajak bertaqwa akan mematuhi dengan baik dan setia, sebab mereka melihat contohnya pada tingkah laku beliau sendiri.


"Dan janganlah engkau ikuti orang-orang yang kafir dan orang-orang yang munafiq".

Tentu saja ajakan dari orang kafir dan munafiq tidak boleh dituruti. Ini pun suatu perintah mawas diri daripada Allah kepada Rasul-Nya. Karena kadang-kadang kafir dan munafiq itu akan menyusun juga ajakan-ajakan yang pada lahirnya manis, padahal dalam batinnya berisi ajakan yang pahit. Kemudian datang sambungan ayat:


"Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana."
(Ujung ayat 1).

Allah menutup peringatan-Nya terhadap Rasul­Nya dengan kata demikian. Ialah karena orang yang kafir, apatah lagi orang munafiq kerap kali . mengeluarkan perkataan yang manis, padahal mengandung maksud hendak menyeret Rasul ke dalam perangkap yang telah mereka pasang.

( 2 ) Dan ikutilah apa yang telah diwahyukan kepada engkau darl Tuhan engkau ; Sesungguhnya Allah terhadap apa yang kamu kerjakan adalah Maha Tahu.



"Dan ikutilah apa yang telah diwahyukan kepada engkau oleh Tuhan engkau. " (Pangkal ayat 2).

Di ayat pertama melarang mengikuti kehendak kafir dan munafiq, di ayat kedua dijelaskan bahwa jalan yang akan ditempuh hanya satu, yaitu mengikuti wahyu yang diturun­kan Tuhan dari alif sampai yaa.

Dari pangkal jalan sampai ke ujung jalan, jangan disela-sela dengan yang lain. Sebab. jalan lurus itu hanya satu, iaitu jalan Allah. Adapun jalan kafir dan munafiq tidaklah ber­sumber dari wahyu Ilahiy, melainkan dari fikiran manusia atau perdayaan syaithan.


"Sesungguhnya Allah terhadap apa yang kamu kerjakan adalah Maha Tahu." (hujung ayat 2)

Oleh karena Allah Maha Tahu dan Maha Teliti atas segala perbuatan yang dikerjakan oleh manusia, jelaslah bahwa hati sanubari manusia pun dalam kontrole Tuhan selalu. Dia tidak boleh menyeleweng dari garis yang ditentukan-Nya.

( 3 ) Dan bertawakkallah kepada Allah dan cukuplah kepada Allah sahaja bertawakkal.



"Dan bertawakkallah kepada Allah". (Pangkal ayat 3).

Artinya ialah supaya beliau, Rasulullah saw. menyerahkan dirinya sebulat­bulatnya kepada 'Tuhan, penuh kepercayaan, jangan bimbang. Harus yakin bahwasanya jalan yang ditunjukkan Tuhan itulah yang benar, yang lain tidak ada.



"Dan cukuplah kepada Allah sahaja bertawakkal". (Ujung ayat 3).

Kesimpulan dari ketiga ayat ini adalah pegangan hidup bagi Rasul dan bagi tiap orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul. Agama Islam hukanlah semata-mata anutan dan pelukan. Dia bukan semata-mata aqidah yang masuk akal atau yang disebut "rasionil". Dan bukanlah semata-mata beribadat, melakukan sembahyang, puasa, zakat dan hajji menurut peraturan, rukun dan syarat yang tertentu.

Al-Islam bukanlah semata-mata mempertengkarkan soal-soal khilafi­yah hasil ijtihad Ulama-Ulama terkemuka. Islam adalah kumpulan dari itu semuanya yang dijiwai oleh rasa kesadaran bahwa kita melangkah dalam arena kehidupan dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab berhadapan dengan Tuhan.

Dapat kita tegaskan lagi bahwa agama Islam itu ialah disiplin yang keras terhadap diri sendiri, terutama dalam kedudukan orang sebagai pemimpin.

Pendirian yang tegas dan pegangan yang teguh, berani menghadapi segala kemungkinan di dalam mempertahankan pendiri­an. Itu sebabnya maka pada ayat yang pertama sekali diperingatkan kepada Rasul sendiri agar beliau sekali-kali jangan mengacuhkan dan mengikuti kehendak dan permintaan orang-orang yang telah nyata kafir, apatah lagi munafiq.

Bertawakkal kepada Allah, artinya ialah bahwa tempat bertanggung jawab hanya semata-mata kepada Tuhan :

( 4 ) Tidaklah Allah menjadikan pada seseorang dua hati dalam rongga­nya dan tidaklah isteri-isteri kamu yang telah kamu serupakan punggungnya dari kalangan mereka menjadi ibumu dan tidaklab Dia menjadikan anak yang kamu angkat jadi anakmu benar-benar Itu hanyalah ucapanmu dengan mulutmu. Dan Allah mengatakan yang benar dan Dia akan menunjuki jalan.



"Tidaklah Allah menjadikan pada seseorang dua hati dalam rongga­nya. "
(Pangkal ayat 4).

Pangkal ayat ini adalah d a s a r hidup untuk jadi pegangan bagi orang yang mempunyai aqidah Tauhid. Dalam ungkapan secara modern ialah bahwa orang yang pecah tujuan hidupnya atau pecah kumpulan cintanya adalah orang yang sebagai menghentakkan kayu yang berjupang dua ke dalam bumi, niscaya tidak akan mau terbenam.

Maka tidaklah akan beres berfikir seorang yang dalam hatinya berkumpul menyembah kepada Allah dengan menyembah kepada benda. Itu namanya musyrik. Sejak dari ayat 1, dan ayat 2 sudah dijelaskan oleh Tuhan kepada Rasul-Nya, jangan dia mengikuti kehendak kafir dan munafiq disertai dengun tha'at kepada ' Allah.

Kalau sekali hati telah bulat menyembah kepada Allah, persembahan kepada kafir dan munafiq atau persembahan kepada benda mesti ditinggalkan.

وَما جَعَلَ أَزْواجَكُمُ اللاَّئي‏ تُظاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهاتِكُمْ
"Dan tidaklah isteri-isteri kamu yang telah kamu serupakan punggungnya di antara mereka menjadi ibumu".

Kebiasaan orang Arab di zaman jahiliyah jika mereka tidak suka lagi kepada isteri mereka, maka mereka katakanlah bahwa punggung isteri itu serupa dengan punggung ibunya. Tentu saja kalau punggung isteri telah diserupakan dengan punggung ibu sendiri, kasih sayang kepada isteri sudah disamakan dengan kasih sayang kepada ibu.

Kalau isteri sudah dianggap ibu, tentu dikacau-balaukan kasih kepada ibumu yang tidak boleh dikawini sudah dikacau-balaukan dengan kasih kepada isteri yang menjadi teman tidur ! .

Sikap demikian adalah termasuk kekacauan jiwa juga, tidak dapat dibiarkan. Isteri tetap isteri dan kasih kepada isteri ialah disetubuhi dan menghasilkan anak. Ibu tetap ibu dan kasih kepada ibu adalah buat dikhidmati. Sebab itu maka kebiasaan menyerupakan punggung isteri dengan punggung ibunya itu adalah perbuatan yang salah dan tidak benar.

Pada Surat ke-58, Al-Mujaadalah yang diturunkan di Madinah juga, kebiasaan jahiliyah ini telah diberantas dan dilarang. Barang­siapa melakukannya dikenakan denda (Kaffarah). Iaitu memerdeka­kan budak, atau memberi makan 60 orang miskin atau puasa dua bulan berturut-turut. (Lihat Surat pertama dari Juzu' ke-29).

وَما جَعَلَ أَدْعِياءَكُمْ أَبْناءَكُمْ
"Dan tidaklah Dia menjadikan anak yang kamu angkat jadi anakmu benar-benar".

Biasa juga di zaman jahiliyah orang memungut anak orang lain lalu dijadikannya anaknya sendiri. Anak yang diangkat itu berhak membangsakan diri kepada orang yang mengang­katnya itu.
Bahkan hal ini terjadi pada diri Nabi Muhammad saw. sendiri. Seorang budak, (hamba sahaya) yang dihadiahkan oleh isterinya Khadijah untuk merawat beliau, bernama Zaid anak Haritsah. Karena sayangnya kepada anak itu beliau angkat anak dan hal ini diketahui umum.

Di ayat ke-37 kelak akan lebih jelas lagi ahwa Nabi Muhammad saw, sendirilah yang disuruh melepaskan diri terlebih dahulu daripada kebiasaan yang buruk itu, yaitu mengambil anak orang lain jadi anak angkat.

ذلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْواهِكُمْ
"Itu hanyalah ucapan dengan mulutmu".

Yaitu bahwa mengatakan anak orang lain jadi anak sendiri itu hanyalah ucapan mulut, bukan keadaan yang sebenarnya. Sebab yang sebenarnya anak ialah aliran dari air dan darah sendiri.

وَ اللهُ يَقُولُ الْحَقَّ
"Dan Allah mengatakan yang benar",

iaitu anak orang lain bukanlah jadi anakku, walaupun engkau sorakkan di muka umum. Kalau cara sekarangnya walaupun engkau kuatkan dengan kesaksian Notaris, dengan surat-surat pemerintah yang sah. Yaitu sah menurut peraturan yang bukan dari Allah.

وَ هُوَ يَهْدِي السَّبيلَ
"Dan Dia akan rnenunjuki jalan". (hjung ayat 4).

Jalan yang ditunjukkan oleh Tuhan itu ialah syari'at Islam. Maka segala peraturan yang lain, terrnasuk peraturan orang kafir yang dijalankan dalam Dunia Islam, mengangkat anak orang lain jadi anak sendiri, bukanlah jalan yang benar.

Islam telah mengadakan aturan sendiri dalam menjaga nasab dan keturunan, sehingga apabila seseo­rang meninggal dunia sudah ada ketentuan pembagian harta pusaka (faraidh).

Namun mengangkat anak orang lain jadi anak sendiri, lalu mengatur pula agar harta pusaka setelah mati diserahkan pula kepada anak angkat itu adalah melanggar pula kepada ketentuan hak milik yang telah ditentukan syari'at.

Inilah yang diperingatkan Tuhan kepada Rasul-Nya pada ayat pertama surat ini, agar Rasul jangan mengikut kepada kafir dan munafiq.

( 5 )Panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka. Itulah yap lebih adil disisi Allah. Dan jika tidak kamu ketahui siapa bapa bapak mereka, maka adalah mereka saudara kamu seagama maula-maula kamu. Tetapi tidaklah kamu berdosa jika kamu salah dengan dia, melainkan jika disengaja oleh hati kamu. dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang.


ٱدْعُوهُمْ لِآبائِهِمْ
"Panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka. "
(Pangkal ayat 5).

Dahulu Zaid budak yang dimerdekakan dan diangkat anak di zaman jahiliyah oleh Nabi ita dipanggilkan Zaid bin Muhammad. Dengan ayat ini datanglah ketentuan supaya dia dipanggil kembai menurut yang sewajarnya , iaitu Zaid bin Haritsah.

Ada juga kejadian seorang anak yang kematian ayah sewaktu dia masih amat kecil. Lalu ibunya kawin lagi dan dia diasuh dan dibesarkan oIeh ayah tirinya yang sangat menyayangi dia.

Dengan tidak segan-segan si anak menaruhkan nama ayah tirinya di ujung. namanya, padahal bukan ayah tirinya itu ayahnya yang sebenarnya. Itu pun salah. Karena walaupun betapa tingginya nilai kasih sayang dan hutang budi, namun kebenaran tidaklah boleh diubah dengan mulut. Mengganti nama ayah itu pun satu kedustaan. Sebab itu maka ditegaskan Tuhan di lanjutan ayat :

هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ
"Itulah yang lebih adil , di sisi Allah".

Maka mengganti itu tidaklah adil. Itu adalah curang.

فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آباءَهُمْ فَإِخْوانُكُمْ فِي الدِّينِ
"Dan jika tidak kamu ketahui siapa bapak-bapak mereka maka adalah mereka saudara-saudara kamu seagama".

Orang yang tidak terang siapa bapak-bapak mereka ini ialah orang yang biasa ditawan dalam peperangan ketika dia masih kecil, orang tuanya telah mati dan dia telah hidup dalam masyarakat Islam. Atau orang seagama dari negeri lain yang belum kita kenal keturunannya.

Ayat ini menunjuk­kan hendaklah mereka dipanggil sebagai saudara. Maka kalau orang itu masih muda, panggil sajalah dia sebagai saudara.

وَ مَواليكُمْ
"Dan maula­ maula kamu".

Maula mengandung erti perlindungan dan pimpinan timbal balik , Pokok kata ialah dari wilayah, menjadi wali, menjadi maulaa. Dia dapat diartikan Pelindung, Raja, Tuanku, tetapi dia pun! dapat diartikan orang yang diperlindungi.

Setelah Agama Islam ber­kembang luas dan negeri yang ditaklukkan oleh tentara Islam bertam­bah jauh, banyaklah anak muda-muda kehilangan keluarga lalu diambil dan dipelihara oleh tentara Islam yang menang. Mereka dibawa ke negeri Islam dididik dalam Islam. Diakui termasuk kekelu­argaan dari kaum yang memeliharanya.

Dalam Islam maula-maula (jama'nya mawaali) diberi didikan yang tinggi. Mereka memperdalam pengetahuan tentang Islam. Imam Bukhari ahli hadits yang masyhur itu adalah seorang Maulaa dari Bani Ju'fah, yaitu qabilah Arabi yang diperintahkan Khalifah menaklukkan Bukhara di zaman Bani Oma­yah.

Banyak Ulama-ulama Islam di zaman Tabi'in adalah Maulaa. Malahan ada di antara mereka yang jadi shahabat Rasulullah, sebagai Bilal bin Rabah, Salim Maula Abu Huzaifah dan lain-lain. ulama Tabi'in yang besar, yaitu Imam 'Athaak di Mekkah, AI-Hasan Al-­Bishriy di Basrah, keduanya adalah Maulaa. Tuan-tuan besar dari Arab berjuang jadi pahlawan dalam perang, sedang maula-maula jadi Pahlawan Ilmu Pengetahuan Islam.

وَ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُناحٌ فيما أَخْطَأْتُمْ بِهِ
"Tetapi tidaklah kamu berdosa jika kamu tersalah dengan dia".

Yaitu salah yang bukan disengaja, karena tidak tahu.

وَ لكِنْ ما تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ
"Melainkan jika disengaja oleh hati kamu".

Misalnya membangsakan orang kepada yang hina, atau menghinakan orang karena warna kulitnya. Itu sangatlah disalahkan oleh Rasulullah saw.

وَ كانَ اللهُ غَفُوراً رَحيماً
"Dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (ujung ayat 5).

Memberi ampun atas kesalahan tempo dulu yang telah terlanjur, Maha Penyayang kepada hamba-Nya yang patuh sehingga Dia beri petunjuk jalan yang benar dan langkah yang betul.

Berkenaan dengan ayat-ayat yang tengah kita tafsirkan ini teri­ngatlah kita menyalinkan suatu kejadian ketika Rasulullah mengerjakan 'Umratul Qadhaa di tahun ke tujuh, karena tidak jadi di tahun keenam, lantaran membuat perjanjian dengan kaum Quraisy di Hudai­biyah.

Dalam perjalanan pulang dari Mekkah menuju Madinah, menu­rutlah dari bekalang Nabi dan sahabat-sahabat seorang gadis kecil. Anak itu adalah anak yatim, anak dari "Sayyidusy Syuhadaa"', Hamzah bin Abdil Muththalib, paman Nabi dan saudara sepersusuan dengan Nabi.

Karena di waktu kecilnya dia sama-sama disusukan dengan Nabi oleh pembantu rumah tangga Abu lahab, salah seorang saudara tertua dari Hamzah dan paman pula dari Nabi.

Anak perempuan kecil itu memanggil-manggil dari belakang, minta dibawa serta; Dia berseru-seru: "Ya 'Ammi, Ya 'Ammi". (Hai paman, hai paman!),

Lalu 'Ali bin Abi Thalib mendekati anak itu dan dia berkata kepada isterinya Fathimah binti Muhammad: "Bawa dia. Sebab dia adalah anak dari paman kau". Lalu anak itu dibawa oleh Fathimah.

Tetapi ada tiga orang yang berada di sana waktu itu, yaitu 'Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah dan Ja'far bin Abi Thalib. Ketiganya sama ingin hendak memelihara dan membesarkan anak itu. Semua mengeluarkan alasan. 'Ali berkata: "Aku lebih berhak. Sebab dia anak perempuan pamanku!"

Zaid bin Haritsah berkata: "Aku lebih berhak, sebab dia anak saudaraku".
Sebab di antara Hamzah dengan Zaid dipersaudarakan oleh Rasulullah dikala mulai hijrah ke Madinah.

Lalu berkata Ja'far bin Abi Thalib: "Dia anak perempuan dari pamanku, dan khalah-nya (saudara perempuan dari ibunya) adalah isteriku". Yang dimaksudnya ialah Asmaa bin 'Umais. Isteri Hamzah adalah kakak kandung dari Asma' bin 'Umais.

Ketiganya lalu meminta keputusan.kepada Rasulullah saw. Maka beliau memutuskan bahwa Ja'far bin Abi Thalib-lah yang akan meme­lihara anak perempuan Hamzah itu, sebab isteri Ja'far, Asma' binti 'Umais adalah saudara kandung ibunya.

Nabi bersabda:
"Saudara perempuan ibu adalah menempati tempat ibu".

Kepada 'Ali bin Abi Thalib beliau berkata: "Engkau dari diriku dan aku dari diri engkau".
Kepada Ja'far bin Abi Thalib beliau berkata:"Engkau serupa benar dengan daku, baik dari pihak bentuk badan ataupun dari pihak bentuk budi".
Kepada Zaid bin Haritsah beliau berkata: "Engkau adalah sauda­ra kami dan maula kami".

Beliau mendasarkan ucapan beliau kepada Zaid itu ialah kepada ayat Al-Qutan tadi bahawa mereka adalah saudara-saudara kamu dan maula-maula kamu".

Dengan demikian beliau telah dapat mendamaikan orang-orang yang berselisih dengar, memuaskan hati masing-masing, dan gadis kecil itu beliau serahkan kepada yang lebih berhak, iaitu adik dari ibu kandungnya, yang disebut khaalah-nya.

BERSAMBUNG